PEREMPUAN LANGIT

By:Saroni Asikin

AKU belum merelakanmu pergi malam ini, Perempuan. Aku tahu kau akan kembali ke langit pada saat bulan gerhana dan orang-orang kampung menabuhi segala logam dan besi. Ahai, begitu memang kesepakatan yang kita buat, Perempuan Langit.
Tapi tidak malam ini! Tidak gerhana bulan ini kali! Aku berhak memaksamu tetap tinggal. Serumah dan seranjang bersamaku terus. Seperti telah sekian purnama kita lewati. Bersekasih. Aku sudah telanjur jatuh cinta kepadamu. Kau pergi aku merana. Aku mati.
Aku tahu kau juga menikmati saat-saat kita bercintaan. Mau bukti? Rayuanku selalu membuat matamu yang selalu berkejap-kejap. Syahwatmu pun begitu menggelora. Seperti gelombang. Atau buncahan lahar. Deru kuda binal. Sering membuatku terlempar dan terkapar seperti ikan di pasir panas. Jangan kau pungkiri, Puan! Kau tak bisa pergi selagi masih bisa kaunikmati kebersamaan kita. Selagi sebenarnya hatimu pun bisa tersentuh oleh pesona kelelakianku.
Aha, jangan kau bilang makhluk langit sepertimu tak punya hati. Bolehlah kau tak tercipta dari daging serupa dagingku darah serupa darahku. Tapi kau datang persis seperti semua perempuan yang pernah bercinta denganku. Perempuan dari daging serupa dagingku dan darah serupa darahku. Ingat bagaimana kukuku menggores lengan kirimu ketika kita bercinta suatu malam? Ada tetes darah. Hop! Jangan kau pungkiri darah perawanmu setiap habis bersetubuh. Itu juga keistimewaanmu. Selalu perawan. Kau memang perawan abadi.
Dan malam ini, mana ada orang masih tahu cara memukul logam dan besi ketika bulan gerhana tiba? Bahkan mungkin mereka tak tahu sekarang ini bulan sedang dilahap Sang Kala yang sakral buatmu.
Sorry, Perempuan Langit, terpaksa harus kuakui betapa dulu aku telah begitu licik memerdayamu. Baiklah, perlu aku ingatkan kembali awal perjumpaan dan kesepakatan kita. Meskipun aku tahu kau pasti mengingatnya.
Ya! Malam itu, sekian purnama yang lalu, aku tengah duduk di sebuah bangku taman kota. Gelisah menunggu seorang perempuan yang telah berkali-kali menggodaku lewat SMS: tunggulah aku di taman kota, kekasih. Tak perlu kusebut namanya. Sedikit saja kuberi tahu, dia selalu memakai anting-anting panjang yang lebih sering kuumpati dengan sebutan ''si panjang kuping''.
Perempuan itu memang telah kurang ajar mengganggu kesukaanku minum dan menikmati Top's 40 di sebuah pub. Aku sudah diamuk mabuk beberapa gelas Cassanova ketika ponselku mengerik. Itu SMS ketujuhbelas kukira, sejak aku mulai masuk pub, dalam kalimat yang sama. Tak tahu kenapa aku bangkit dari kursi dan menuju taman kota. Padahal aku telah request lagu ''Asereje''. Kau tak pernah tahu hatiku selalu berdebur-debur karena membayangkan bisa bercinta dengan para penyanyi Las Ketchups itu. Dan SMS sialan itu membuatku harus melupakan hatiku yang akan berdebur-debur.
Di taman itu, aku tahu si panjang kuping pasti tak akan datang. Aku telah tahu tabiatnya. Dia hanya suka menggoda. Sesekali memang memerdayaku seperti beludak. Sialnya, aku pun suka menjilati bisa dari lidahnya. Racun dari rongga mulutnya selalu kurasakan sangat segar di dalam mulutku. Bahkan ketika berciuman dengannya, aku tak peduli apabila kemudian darahku tercemar racun dan membuat busuk jantungku.
Langit begitu cerah dalam purnama dan mata mabukku. Mendadak seperti ada bagian langit yang terbelah membuncahkan sinar benderang. Ya, Puan, itu kau, turun dalam jubah putih terselubung benderang muncul dari bongkahan langit itu. Sesaat kulihat ada kepakan sayap di belakang punggungmu. Belum sempat menarik napas kau telah berada di depanku. Tapi aku tidak terkejut. Bahkan aku segera mengamati telingamu. Tak kujumpai anting-anting panjang. Siapa tahu kau jelmaan perempuan iseng yang memang sedang kutunggu itu.
Bukan, perempuan iseng itu tidak bersayap sepertimu. Aha, kau datang dari bongkahan langit dalam jubah putih berselubung benderang dengan dua sayap di punggungmu, maka pasti kau malaikat perempuan cantik. Setahuku makhluk seperti itu malaikat. Kau memandangiku takut-takut. Kita saling bergeming. Tanpa kata-kata. Lalu pikiranku melesat ke sebuah cerita: Nawangwulan. Ah, ya, kau bidadari, pasti itu! Dan pasti kau tersesat! Begitu saja lalu kutawari kau untuk tinggal bersamaku. Ide gila yang mendadak muncul dan gilanya kau tak bisa mengatakan ''tidak''.
Tapi rupanya kau ingin bikin kesepakatan. Kau bilang ketika itu, ''Bolehlah! Aku bisa tinggal bersamamu asal aku boleh kembali pada saat bulan gerhana dan orang menabuhi logam dan besi. Karena pada saat itu, ada bagian langit yang terbongkah dan aku bisa kembali lewat situ.''
Aku tentu saja setuju. Kusebut kau Perempuan Langit. Kelicikanku sudah kumulai ketika itu. Aku terima syaratmu. Aku tahu, aku akan memilikimu selamanya. Tak akan ada lagi orang menabuhi segala logam dan besi pengusir bulan gerhana, sayang... Cerita dari negerimu mengenai kebiasaan orang di bumiku yang menabuhi segala logam dan besi sembari menyerukan nama Batara Kala itu telah usang. Kau seolah-olah memang datang dari sejarah silam. Bumi telah banyak berubah, Kekasih. Ataukah memang sebenarnya di negerimu tak ada gerak, tak ada waktu yang berputar karena si Kala Anak Jadah Siwa-Durga itu telah jadi patung?
Sudah kuingatkan, bukan? Dan masih berniat pergi? Itu berarti kau mengingkari kesepakatan kita. Makhluk langit macam apa yang khianat pada janjinya? Sekali lagi, ya sekali lagi, tak ada orang menabuhi logam dan besi pengusir gerhana, sayang... Itu berarti kemenangan buatku, bukan? Kemenangan seorang pecinta yang kuakui berawal dari kelicikan dan kejengkelan menunggu perempuan iseng beranting-anting panjang....
***
PEREMPUAN Langit itu menderukan tangis di bibir ranjang. Aku benci perempuan yang cengeng. Muncul isengku. Kuambil kedua sayapnya yang sekian purnama kusimpan di almari. Itu juga bagian kelicikanku. Pada saat dia bersedih karena tak mungkin bisa kembali ke langit, aku malah menggodanya. Lelaki pecinta macam apa aku? Shit! Boleh jadi aku bukan orang yang mencintai perempuan itu. Aku cuma orang yang posesif. Aku hanya ingin menguasai dia. Merasa bangga memiliki seutuhnya seorang bidadari dari langit.
''Ini kedua sayapmu! Kalau mau pergi, pergi saja, Perempuan Langit laknat! Kau pikir lelaki bisa menderita hanya karena rasa cintanya tersebratkan? Kau keliru, Makhluk Langit keparat! Pergi saja!''
Itu mulutku! Mulut licik yang mungkin telah teracuni bisa ular beludak yang seolah-olah terjulur dari lidah perempuan beranting-anting panjang itu. Padahal, ketika mulutku mengumpat dalam bahasa cabul itu, ada tusukan di hatiku. Pada hakikatnya, aku sungguh mencintainya dan akan merana bila dia jadi kembali ke langitnya. Tapi tak mungkinkah pecinta tak bisa meliciki yang dicintai?
Dia makin menderukan tangis. Aku bertambah benci. Serupa kebencianku ketika mendengar lagu cabul penyanyi dangdut murahan. Amarahku mendadak lahir.
''Aku bisa membuatmu mati kalau aku mau. Sayapmu akan kulempar ke tungku. Kau pernah membuka rahasiamu tentang itu. Ingat kau? Kau bilang kau akan mati kalau sayapmu kubakar. Tapi tidak, Puan! Cintaku padamu sejauh negeri langitmu yang entah itu. Tak mungkin kulakukan itu. Sebab, aku pun akan merana dan mungkin mati juga.''
Maka kulempar saja kedua sayap ke mukanya. Tangisnya semakin menderu. Kebencianku semakin menggubal. Ingin kupukul kepalanya atau kutampar saja pipinya atau kubekap mulutnya. Tak mungkin itu! Seorang pecinta sejati tak mungkin menyakiti orang yang dicintai, selicik dan sebeludak apa pun aku yang telah sekian lama minum dari bisa perempuan beranting-anting panjang itu.
''Pergilah! Kau tak perlu memikirkan kesepakatan kita. Atau, kau ingin aku menabuhi logam dan besi?''
Aku berlari ke dapur. Dengan marah kutabuhi apa saja yang kujumpai: wajan, panci, kompor... Lalu berlari keluar dan menjumpai gerhana bulan telah selesai. Kutinggalkan Perempuan Langit yang masih menderukan tangis. Aku tak ingin kembali ke rumahku. Semoga pub masih buka saat itu dan aku bisa menenggak Cassanova. Syukurlah apabila perempuan beranting-anting panjang itu benar-benar ada di sana dan itu berarti aku akan mereguk kenikmatan racun-bisanya yang telah sekian purnama tak lagi mengharu-biru aku.
***
DIA memang ada di pub itu. Dia tengah menyanyi ketika aku memesan Cassanova. Sekilas matanya licik mengerling padaku ketika mulutnya menggumamkan ''Cry me a River''. Tak jelek suaranya. Meskipun tentu saja tak sebagus Diana Krall. Kutenggak gelas pertamaku. Mendadak ada gairah meletup-letup. Pasti seusai lagu itu dia akan melantunkan ''Besame Mucho''. Ciumlah, ya ciumlah aku sebanyak-banyaknya, selalu, setiap saat, pasti itu yang dia kehendaki! Aku tersenyum pahit. Kembali terbayang lidah penuh bisa itu menjilati rongga mulut dan bertaut lama dengan lidahku. Ah, akhirnya aku harus kembali padanya karena Perempuan Langit itu mungkin saat ini sudah terbang kembali ke negerinya.
Persetan! Aku ingin Cassanova ini cukup membuatku melupakan perempuan yang kali pertama kujumpai dalam jubah putih berselubungkan benderang. Kutenggak gelas kedua. Kutuang lagi. Gelas ketiga. Keempat. Kelima dan ingin beranjak ke panggung ketika akhirnya ''Besame Mucho'' keluar juga dari mulutnya. Lidahnya menjulur ke arahku sembari bernyanyi. Tapi aku sudah mabuk dan mungkin aku tertidur cukup lama di meja pub itu.
***
REKAH subuh 800 tahun kemudian, aku terbangun. Aku pulang ke rumahku. Istriku tengah menyeterika bajuku ketika kubuka pintu. Ia terbiasa melakukan itu sembari menyiapkan sarapan, selalu pagi-pagi buta. Tergopoh-gopoh dia menyambutku dengan manja. ''Dari mana saja kamu, Sayang? Beberapa jam ini aku menunggumu dengan cemas. Aku khawatir perempuan beranting-anting pajang itu kembali memerdaya kamu. Seusai kau pergi, dia datang kemari dan mencarimu. Kau tak lagi menemuinya, bukan?''
Aku tak menjawab. Dia tidak tahu, aku baru saja kehilangan seorang perempuan dari langit. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara tangis dari dalam kamar. ''Siapa yang menangis di dalam kamar?'' Istriku terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. ''Tak ada suara tangis, kok. Kamu mungkin terlalu capai, Sayang...''
Tangisan itu masih kudengar. Shit! Itu tangisan Perempuan Langitku! Bersigegas aku ke kamar dan menjumpai Perempuan Langit itu tengah menangis sembari memeluk kedua sayapnya. Aku sunggu benci tangisan. Kuhardik dia, ''Kenapa tak jadi pergi! Enyah saja! Cepat!'' teriakku.
Mungkin mendengar aku berteriak-teriak, istriku berteriak pula, ''Ada apa, Sayang?''
Dia muncul di pintu kamar dan seketika kulihat wajahnya memucat. Tiba-tiba dia berteriak, ''Kamu kenapa? Lo, lo, kenapa punggungmu? Kenapa ada sayap di punggungmu itu?''

PEREMPUAN YANG TAK PERNAH BISA KUMENGERTI

Cerpen Niniek

Perempuan itu tak bergeming dari lelapnya, bahkan ketika kubenahi selimutnya. Wajah yang begitu damai ditidurkan di dadaku. Nafasnya menghangati keseluruhanku. Sungguh, aku tak sanggup membangunkannya walau begitu banyak yang ingin kutanyakan.
"Kamu tak sungguh-sungguh mencintaiku. Kamu hanya kasihan padaku," ujar perempuan itu.
Aku tertegun. Sangat terkejut mendengar pernyataan yang cenderung menuduh itu.
"Tidak lebih," sekali lagi ia menandaskan sebelum sempat aku menjawabnya. "Kamu hanya kasihan padaku, tidak lebih." Aku masih saja terkejut, meski ini pernyataannya yang ketiga. Aku tetap diam. Tak hendak menjawab. Aku begitu bingung dengan pernyataannya. Namun tiba-tiba aku berpikir benarkah demikian?
Ketika pertama kali berkenalan, aku hanya berpikir bahwa dia cantik. Itu saja. Aku memang tak percaya cinta pada pandangan pertama. Mungkin karena aku tak pernah mengalaminya. Pada perempuan ini pun demikian. Ia cantik, itu benar. Tetapi hanya itu yang mampu menggetarkan rasaku, bukan cintaku. Satu hal yang wajar karena aku laki-laki dewasa, normal, yang sangat terbiasa bergetar hasrat bila melihat perempuan cantik. Kemudian dalam berbagai kesempatan, tiba-tiba aku dihujani kiriman salam. Pikiranku yang cenderung nakal membacanya sebagai isyarat menggoda. Aku terlalu terbiasa membacanya.
Aku mulai ingin tahu lebih banyak tentangnya. Informasi yang semula kuharapkan bisa menjadi bekal untuk menjajaki kemungkinan mengajaknya bersenang-senang ternyata ambyar.
Aku bukan laki-laki yang baik jika ukuran baik itu adalah tidak meniduri perempuan yang bukan istrinya. Teramat sering aku berganti teman kencan. Apalagi aku lajang. Terus terang, kesenangan inilah yang mendorongku untuk mempertahankan kelajanganku. Tetapi demi mendengar kisah tentangnya, aku menjadi berpikir bahwa mungkin, bahkan pasti, perilakuku selama ini telah menyakiti hati banyak perempuan. Seperti juga yang dialami perempuan ini. Aku dengar perempuan ini terlalu sering menelan janji dari banyak lelaki yang teramat gombal menjanjikan perkawinan. Dan aku harus mengakui ternyata masuk kategori yang teramat gombal itu!
Aku lalu berpikir untuk segera mencari dermaga terakhir. Usiaku ternyata semakin menapak. Dan rasanya tiba waktuku untuk membina rumah tangga yang mudah-mudahan lebih kekal ketimbang kesenangan-kesenanganku selama ini.
Aku lelaki gombal. Dan dia perempuan yang sering digombali. Jika kemudian aku memilih dia sebagai teman membina keluarga, mudah-mudahan dia bisa menerima aku apa adanya. Seperti aku akan menerimanya apa adanya. Apalagi, konon katanya, ia pun tengah dalam pencarian yang sama sebagai akhir dari kekecewaan-kekecewaannya. Maka kuberanikan diri untuk menyatakan cinta. Aku tahu, kali ini pasti aku terlihat sangat norak karena tiba-tiba saja untuk perama kalinya aku terbata dan nyaris gagap untuk sekedar mengungkap kata cinta. Tetapi aku menjadi sangat tersanjung karena ternyata ia tak menertawakanku. Ia mengecupku sebagai ungkapan penerimaannya. Bahkan ada air mata!
Percaya atau tidak, sekian bulan berlalu tetapi tak pernah sekalipun kusentuh dia. Entah dengan dirinya, tetapi yang pasti tiap kali keinginan dewasaku menggolak, aku berhasil mencegahnya. Aku tak bisa memperlakukannya seperti perempuan-perempuanku yang dulu. Tak bisa. Aku menabukan itu. Aku takut perilakuku akan menyakitinya jika aku membiarkan kegolakanku.
Maka, pernyataannya itu begitu tiba-tiba bagiku. Aku merasa tak pernah mengecewakannya. Tapi tiba-tiba aku dituduh tak sungguh-sungguh mencintainya dan sekedar kasihan padanya!
Kami melepaskan ikatan pada akhirnya ketika ia bersikukuh dengan pernyataannya tanpa memberi penjelasan mengapa ia berpendapat demikian. Aku pun tak menuntut karena aku takut tak bisa membela diri. Terus terang akupun mulai ragu benarkah cintaku kubangun dari perasaan kasihan.
Sekian waktu berlalu. Dermagaku tak jua kutemukan. Mungkin karena aku tak sungguh-sungguh mencarinya. Dan aku cenderung kembali pada perilaku lama.
Sekarang justru aku yang bertanya, siapa yang sesungguhnya harus dikasihani dan mengasihani. Aku yang tercabik oleh penampikannya yang sama sekali tak kuduga dan tak bisa kuterima atau dia yang entah mengapa berpikir demikian?
Aku hampir melupakannya hingga beberapa jam lalu ketika tiba-tiba kami kembali bersua. Dan tiba-tiba pula kami tergolek bersama. Yang dulu kutabukan pada perempuan ini, kini dapat dengan mudah kulakukan.
*
Ketika aku membuka mata, perempuan itu tengah duduk sembari memandangiku. Ia tersenyum. Cantik sekali. Aku tak sempat terlalu lama membalas tatapannya karena tiba-tiba ia mengecupku mesra. Dan pagi itu kembali kami lakukan. Lepas. Tanpa beban.
"Aku mencintaimu," bisikku.
Jari telunjuknya ditempelkan di bibirku. Dan tak kusiakan.
"Aku tahu kau tak sungguh-sungguh mencintaiku. Kau hanya kasihan padaku."
"Lagi-lagi kalimat itu!" dengusku.
"Kau tak memahami dirimu. Tanyakan lagi ke hatimu, pasti itu jawabannya!"
"Aku mencintamu!" seruku.
"Kau bahkan belum menanyakannya!" Aku bangkit dengan kesal hati. Tapi tangan lembut menggayut pundakku.
"Begitu kasihannya kau padaku sampai-sampai kau tak akan sanggup melakukan kewajibanmu. Kau selalu takut akan menyakitiku. Benar bukan? Aku pun tak mau ini terjadi padamu. Kamu terlalu agung bagiku. Aku tak sanggup melihat kamu…"
"Aku sanggup. Bukankah semalaman, seharian, kita…"
"Kita melakukan bukan atas nama cinta. Tapi karena kamu butuh, aku butuh. Itu saja. Tidak lebih."
Aku memejamkan mata. "Ternyata bukan aku yang membangun rasa kasihan. Tapi kamu. Kamu kasihan padaku yang dulu selalu tak mampu meneruskan."
"Kamu tak mengerti bahwa yang terjadi padamu pun terjadi padaku. Bahwa aku tak akan sanggup melakukan kewajibanku sebagai istri karena aku selalu takut akan mengecewakanmu," desahnya.
Aku membuka mata kembali. "Bukankah semalaman, seharian, kita…"
"Kita melakukan bukan atas nama cinta. Tapi karena kamu butuh, aku butuh. Itu saja. Dan ternyata kita bisa lebih menikmati ketimbang jika kita bertemu sebagai kamu dan aku yang hendak berlabuh bersama."
Aku tak menjawab. Karena pemikirannya begitu rumit untuk kumengerti.

List Bloge Enyong

Nggolet Disin!